forestrimbawan
Senin, 23 Februari 2015
Rabu, 18 Februari 2015
Rabu, 07 Januari 2015
Kamis, 11 Desember 2014
Rabu, 03 Desember 2014
FORESRIMBAWAN
Tugas
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
(Potensi HHBK yang Berada Di
Sulawesi Tenggara)
Oleh :
HASWAN
PRATAMA
D1B5 11 015
KOSENTRASI
TEKNOLOGI HASIL HUTAN
JURUSAN
KEHUTANAN
FAKULTAS
KEHUTANAN DAN ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS
HALU OLEO
KENDARI
2014
I. PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Sumberdaya
hutan (SDH) mempunyai potensi multi fungsi yang dapat memberikan manfaat
ekonomi, lingkungan dan sosial bagi kesejahteraan umat manusia. Manfaat
tersebut bukan hanya berasal dari Hasil Hutan Kayu (HHK) seperti yang terjadi
saat ini, melainkan juga manfaat Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), karbon dan
ekowisata.
Mengingat potensi penting HHBK sebagai sarana meningkatkan kesejahteraan
masyarakat maka Kementerian Kehutanan meluncurkan kebijakan yang mendorong
pengembangan HHBK, yaitu melalui usaha pemanfaatan HHBK di hutan alam dan usaha
pemanfaatan HHBK di hutan tanaman. Pengembangan HHBK di hutan alam sulit
diimplementasikan karena sistem silvikultur pemanfaatan HHBK di hutan alam
serta informasi tentang jenis, potensi dan penyebarannya belum tersedia atau
tersedia secara terbatas. Selain itu, hutan alam umumnya memiliki beragam jenis
HHBK yang potensi setiap jenisnya rendah. Dalam kondisi demikian, hanya
beberapa jenis HHBK dengan potensi besar yang dapat dikembangkan.
Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah yang sudah
dikenal dimanca Negara dengan hasil
hutan bukan kayu-nya yang berupa aren, rotan dan getah kopal. Selain itu, masih
banyak potensi hasil hutan bukan kayu yang belum di kenal oleh masyarakat luas
misalnya lebah madu Trigona, resin pinus dan bambu. Dilihat dari segi tempat tumbuh tanaman
dengan iklim berupa iklim mikro, bambu dapat dikembangkan menjadi lahan bisnis
baik dalam industry meubel, furniture dan pembuatan bahan baku kertas.
B.
Tujuan
dan manfaat
Tujuan
dari penelitian pengembangan potensi HHBK yang berada di Sulawesi Tenggara
adalah :
1. Menggali
potensi daerah dalam pengembangan HHBK sebagai alternative sumber pangan,
obat-obatan, yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2.
Adanya acuan mulai dari perencanaan
sampai pasca panen bagi pelaku usaha, para pihak dan masyarakat luas dalam
pengembangan HHBK.
Manfaat
dari penelitian ini adalah memberikan arah,
kebijakan serta gambaran pengembangan HHBK kepada pelaku usaha, pada pihak dan
masyarakat yang akan melakukan pengembangan usaha HHBK.
II. TINJAUN PUSTAKA
A. Pemantapan Kawasan
Peningkatan kelengkapan, keakuratan dan
keterkinian hasil inventarisasi HHBK di dalam setiap kegiatan inventarisasi
hutan; Pelaksanaan inventarisasi HHBK di tiap level; Metode dan pelaksanaan
inventarisasi HHBK; Jenis parameter inventarisasi hutan dimasing-masing
level. Percepatan proses pengukuhan;
Penyelesaian konflik kawasan; Identifikasi kawasan hutan yang potensial untuk
non kehutanan: Proses penyesuaian tata ruang; Rekonstruksi (tinjau ulang) dan
realisasi tata batas. Percepatan proses
pembentukan unit-unit KPH pada seluruh kawasan hutan (konservasi, lindung dan
produksi) dengan mengarus-utamakan kelas perusahaan HHBK. Implementasi dari
perencanaan pengembangan HHBK sebagai bagian dari sistem perancanaan kehutanan
menuju terwujudnya rencana kehutanan yang hirarkis dan terintegrasi mulai dari
tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota dan unit pengelolaan, yang meliputi
jangka waktu panjang dan pendek pada seluruh kawasan hutan (konservasi, lindung
dan produksi). Mempertimbangkan
Indonesia merupakan kepulauan (terdiri dari lebih kurang 17.000 pulau yang
sebagian besar merupakan pulau-pulau kecil), dengan kawasan hutan yang juga
tersebar di sebagian besar pulau-pulau tersebut, maka arah pengembangan HHBK
harus mempertimbangkan ekosistem, termasuk ekogeografis yang spesifik.
B.
Mitigasi Perubahan Iklim.
Terselenggaranya secara optimum
peran kawasan hutan di dalam mitigasi dan adaptasi perubahan iklim dan
diterimanya imbalan yang seimbang dari peran tersebut. Pengembangan HHBK
ditempatkan sebagai salah satu elemen pendukung percepatan pembentukan KPH untuk
diposisikan sebagai register area dalam mekanisme perdagangan karbon. Identifikasi lokasi-lokasi yang potensial
memasuki skema pasar karbon dan membangun model implementasi skema perdagangan
karbon dengan lebih menitik-beratkan pemanenan HHBK serta lebih banyak menunda
pemanenan kayu untuk memperbesar cadangan karbon. Penyelenggaraan penelitian
kemampuan/kapasitas penyerapan dan penyimpanan karbon (CO2) oleh tegakan hutan
dan pengembangan sistem perhitungannya, ketika tegakan lebih diarahkan untuk
produksi HHBK.
C. Pemanfaatan Hutan
Penyempurnaan pedoman dan
percepatan tata hutan baik untuk hutan konservasi, lindung dan produksi sebagai
dasar arahan bentuk pemanfaatan hutan dalam sistem KPH yang meliputi kayu dan
bukan kayu; Penyusunan rencana pengelolaan hutan pada setiap unit KPH.
Ø
Peningkatan
kegiatan inventarisasi sumberdaya hutan sehingga dapat dikuasainya
data/informasi potensi hutan sebagai dasar pemanfaatan kayu dan bukan kayu yang
lestari.
Ø
Intensifikasi
pemanfaatan lahan hutan; peningkatan produktifitas melalui perbaikan teknik
silvikultur yang disesuaikan dengan tipologi hutan setempat; Joint
production (dalam satu tapak hutan dapat dimanfaatkan dengan berbagai
tujuan misalnya hasil hutan kayu, hasil hutan bukan kayu dan sekaligus jasa
lingkungan air, dsb).
Ø
Pemanfaatan
hutan guna produksi hasil hutan bukan kayu diselenggarakan oleh usaha skala
kecil untuk menciptakan dunia usaha kehutanan yang tahan (lentur) menghadapi
perubahan lingkungan strategis yang sangat dinamis.
Ø
Peningkatan
pemberdayaan masyarakat di dalam pemanfaatan hutan, antara lain melalui
peningkatan kapasitas dan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan termasuk
di dalamnya HHBK, dengan memanfaatkan secara maksimal instrumen pemberdayaan
(pola kemitraan, HKm dan Hutan Desa) serta pelibatan dalam usaha kehutanan
skala kecil antara lain melalui HTR, dll.
D. Rehabilitasi
Meningkatkan pertimbangan
pengembangan HHBK pada percepatan pembangunan hutan tanaman (HTI dan HTR),
pembangunan hutan rakyat, GERHAN, dan gerakan menanam lainnya sehingga lebih
dapat terjamin adanya laju rehabilitasi yang lebih besar dari laju degradasi. Percepatan
rehabilitasi pada DAS prioritas dengan memaksimumkan kelas perusahaan HHBK
untuk meningkatkan daya dukung ruang hidup. Kegiatan rehabilitasi dipersiapkan
kemungkinannya untuk memasuki skema voluntary carbon market, yang dapat
memberikan manfaat langsung kepada masyarakat.
E.
Perlindungan dan Pengamanan Hutan
Penguatan peraturan perundangan
dan kelembagaan untuk meningkatkan efektifitas upaya pencegahan dan
pemberantasan gangguan terhadap hutan dan kawasan hutan melalui berbagai
insentif yang melekat pada pengembangan HHBK.
Penyadaran dan penguatan kelembagaan masyarakat untuk ikut berperan
dalam kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan melalui berbagai insentif
pemanfaatan HHBK. Penegakan hukum (low
enforcement) yang adil dan transparan.
F.
Konservasi Alam
Pemanfaatan HHBK tidak dapat
dilepaskan dari upaya peningkatan upaya konservasi keanekaragaman hayati
melalui konservasi ekosistem in-situ dan konservasi ex-situ. Penguatan pengelolaan kawasan konservasi
ekosistem, jenis dan genetik melalui kolaborasi pengelolaan, profesionalisme
sumber daya manusia, penerapan good forest governance serta pengembangan sistem
insentif konservasi yang kondusif. Memperluas pelaku dan jumlah jenis
pemanfaatan HHBK di kawasan konservasi.
III.
METODE
PENDEKATAN
A.
Unggulan Prioritas HHBK
Untuk memacu perkembangan HHBK perlu ditetapkan unggulan nasional.
Penetapan unggulan nasional diperlukan agar sumberdaya yang terbatas dapat
dimanfaatkan secara optimal. Unggulan nasional dipilih berdasarkan beberapa
kriteria sebagai berikut :
- Ekonomi
- Bio fisik
dan lingkungan
-
Kelembagaan
- Sosial
- Teknologi.
Berdasarkan
hasil kajian telah ditetapkan 5 komoditas HHBK unggulan nasional, yaitu: Bambu,
Sutera Alam, Lebah Madu, Gaharu dan Rotan. Selain 5 komoditas HHBK unggulan
nasional, daerah dapat mengembangkan komoditas HHBK yang diunggulkan
berdasarkan potensi HHBK dan kemampuan daerah.
B. Unit Pengembangan HHBK
Agar diperoleh hasil yang optimal pengembangan HHBK harus
dilaksanakan dengan basis unit pengelolaan yang baik agar dapat mewujudkan hal
tersebut maka unit-unit pengembangan digolongkan sebagai berikut :
1.
Unit Bentangan Lahan.
- Satuannya berupa bentangan lahan yang digunakan sebagai tempat
budidaya.
- Dari bentangan lahan tersebut dapat diperoleh produk dengan
volume mencapai skala ekonomis.
2. Unit
Satuan Berbentuk Desa.
Untuk jenis tanaman tertentu dapat ditanam diberbagai tempat,
misalnya pada lahan-lahan pribadi, kakija, kakisu, spot-spot lahan kosong.
Kumpulan dari berbagai tapak tadi dihimpun jadi satu unit sehingga dapat
mencapai skala ekonomi.
3. Unit Satuan Berbentuk Kelompok
- Yang menjadi inti pengembangan adalah individu petani yang
membudi dayakan HHBK.
- Kumpulan individu yang dipersatuakn menjadi satu kesatuan
manajemen yang mampu menghasilkan produk dalam jumlah yang mencapai skala
ekonomis.
1.
Unit-unit pengembangan HHBK
selanjutnya akan diintegrasikan dengan unit-unit industri untuk proses lebih
lanjut dalam rangka meningkatkan nilai tambah dan memenuhi pasar bebas.
F.
Pola Kemitraan dan Kerjasama antar Stakeholder dalam pengembangan HHBK.
1. Akan dibangun sinergi dari pelaku utama pengembangan HHBK agar
diperoleh unit/pengembangan dengan daya saing yang tinggi.
2.
Pola-pola kemitraan, dan kerjasama difokuskan pola sinergi antara
.
Ø Kelompok
tani
Ø
Investor
Ø
Industriawan
Ø
BUMN
Ø
Sumber
IPTEK unggulan
Ø
Fasilitator
IV.
PEMBAHASAN
HHBK atau Non Timber Forest Product (NTFP) memiliki nilai
yang sangat strategis. HHBK merupakan salah satu sumberdaya hutan yang memiliki
keunggulan komparatif dan bersinggungan langsung dengan masyarakat di sekitar
hutan. Kontribusi HHBK (rotan, damar, arang, getah-getahan, gaharu, dll) pada
tahun 1999 tercatat sebesar US $ 8,4 juta, kemudian meningkat menjadi US $
19,74 juta pada tahun 2002. Jumlah tersebut belum termasuk kontribusi dari
hasil perdagangan flora dan fauna yang tidak dilindungi (PP No. 8/1999) sebesar
US $ 61,3 ribu (1999) kemudian meningkat menjadi US $ 3,34 juta pada tahun
2003. Hasil ini terus meningkat sejalan dengan permintaan pasar yang terus
meningkat secara signifikan.
Pemanfaatan HHBK
tidak hanya memenuhi kebutuhan pangan tetapi dapat menambah nilai
ekonomi, social, biofisik lingkungan, dan teknologi. Fungsi pemanfaatan HHBK
dapat meningkatkan SDM (Sumber Daya Manusia) baik dalam hutan konservasi maupun
HTI dan mengurangi kerusakan hutan yang dapat menyebabkan kepunahan flora dan
fauna seperti pada penebangan liar.
V. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kesimpulan
dari penelitian ini adalah HHBK (Hasil Hutan Bukan Kayu) memberikan manfaat
yang sangat besar sehingga potensi untuk mengembankan dalam industry pengolahan
HHBK tidak hanya memberikan manfaat bagi pengolah dan pengusaha tetapi menjaga dan mengurangi dampak
kerusakan hutan baik flora maupun fauna dan sifat fisik tanah.
B.
Saran
Diharapkan dengan pengembangan HHBK pada
wilayah sentra produksi baik yang berasal dari kawasan hutan maupun luar
kawasan hutan melalui serangkaian kebijakan pengembangan HHBK :
a. Mengurangi ketergantungan pada hasil hutan kayu.
b. Peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan dari HHBK serta
menimbulkan kesadaran dalam pemeliharaan kawasan hutan.
c. Meningkatkan devisa sektor kehutanan non kayu.
d. Terciptanya lapangan
kerja baru di sektor kehutanan yang berasal
dari komoditi HHBK.
DAFTAR
PUSTAKA
Sri Hartini.
1999. Koleksi Cyathea dari kawasan Timur Indonesia, Workshop dan
Promosi Flora Kawasan Timur Indonesia.
Titien
Ngatinem Praptosuwiryo, Didit Okta Pribadi, Dwi Murti Puspitaningtyas, Sri
Hartini. 2011. Inventorying the tree fern Genus Cibotium of
Sumatra: Ecology, population size and distribution in North Sumatra.
BIODIVERSITAS Volume 12, Number 4, October 2011 Pages:
204-211 ISSN: 2085-4722 (electronic).